Selasa, 27 Mei 2014

OUTSOURCING



sushantskoltey.wordpress.com


Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh. Outsourcing seringkali disebutkan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya. Namun pada praktiknya, outsourcing pada umumnya didorong oleh keinginan sebuah perusahaan untuk menekan kerugian serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi mungkin dan seringkali melanggar etika bisnis. Sebuah praktik yang digunakan oleh perusahaan untuk mengurangi biaya yaitu dengan memindahkan bagian-bagian dari pekerjaan kepada pemasok luar dan tidak menyelesaikannya secara internal. Semua mekanisme kerja bertujuan untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan pekerjaannya. Saat ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar melalukan praktik outsourcing. Berikut ini terdapat beberapa alasan industri melakukan outsourcing yaitu :
1.  Efisiensi kerja, dimana perusahaan dapat melimpahkan kerja-kerja operasionalnya kepada perusahaan outsourcing
2. Resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain, sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin
3. Sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi
4. Mengurangi biaya pengeluaran karena dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional
5. Perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah
6. Mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik

Dari sudut pandang tenaga kerja, outsourcing merupakan ancaman baru bagi kontribusi terhadap ketidakamanan pekerja dan mencerminkan proses umum globalisasi ekonomi dan polarisasi. Perusahaan outsourcing terutama menghindari biaya-biaya tertentu seperti biaya usaha, pajak yang tinggi, biaya energi yang tinggi, peraturan pemerintah yang berlebihan, produksi dan biaya tenaga kerja. Praktik outsourcing sering menimbulkan pemikiran yang berlebihan. Setiap pekerjaan seolah-olah bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan inti sebuah perusahaan sekalipun. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat kurang, karena pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga habis kontrak akan habis juga hubungan kerja dengan perusahaan dan tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberikan kompensasi terhadap pekerja yang di-PHK. Adanya outsourcing, pengusaha tidak perlu disulitkan dengan urusan administrasi dan perencanaan pekerjaan di luar bisnis inti, pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, tunjangan hari raya (THR), dan hak-hak pekerja lainnya. Hal ini diakui sebagai kelemahan dari konsep outsourcing yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Begitu banyaknya penyimpangan praktik outsourcing dari konsep hukum positif dan teori hukum asalnya, sehingga ada pemikiran untuk menghapus ketentuan tentang outsourcing tersebut dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan di masa mendatang.
Terdapat tiga pihak atau subjek yang terlibat langsung dalam bisnis jasa outsourcing tersebut, yaitu perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pekerjaan, dan pekerja dari perusahaan-perusahaan tersebut. Pekerja outsourcing sendiri hanya memiliki hubungan kerja dan digaji oleh perusahaan penerima pekerjaan. Hubungan kerja yang demikian akan tetap tunduk pada ketentuan hukum ketenagakerjaan sesuai dengan perundangan yang berlaku.

Contoh Kasus Pekerja Outsourcing
Di JICT, Jangan Ada Pekerja “Outsourcing”
Rabu, 21 April 2010 | 20:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Manajemen Jakarta International Container Terminal (JICT) diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan outsourcing di terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. “Sistem outsourcing harus segera dihapus karena akan berdampak pada implementasi International Ships and Port Security (ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung Priok. Pekerja outsourcing harus diangkat sebagai karyawan organik,” kata Koordinator International Transport Worker’s Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (21/4/2010). Dikatakannya, ITF sangat prihatin dengan sikap manajemen JICT yang tidak peduli dengan nasib pekerja dengan mengabaikan nota pemeriksaan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang merekomendasikan agar para pekerja outsourcing diangkat menjadi karyawan tetap. Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja tersebut, Kemenakertrans pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada manajemen JICT. Intinya, JICT diminta melaksanakan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan organik. “Namun hingga saat ini permintaan Kemenakertrans tersebut tidak  digubris,” katanya.
Kasus ini mencuat setelah ribuan pekerja outsourcing di pelabuhan/terminal petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap. Kontrak kerja outsourcing ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa vendor, yakni PT Philia Mandiri Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan Koperasi Karyawan JICT. Mereka antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane, head truck, quay crane, radio officer, dan maintenance. “Pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada di lini satu pelabuhan/terminal peti kemas,” kata Hanafi yang juga Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI). Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun statusnya tidak berubah. Gajinya yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15 persen dari gaji karyawan organik JICT. Kondisi itu dinilai sebagai diskriminasi upah. Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing terkena PHK. Mereka kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang sempat melumpuhkan kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok.  Unjuk rasa kemudian dilanjutkan di Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan BUMN. Namun hingga kini nasib pekerja masih terkatung-katung.
Hanafi Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan, mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing bertentangan dengan implementasi ISPS Code yang harus dilaksanakan JICT. Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan, area lini satu atau kegiatan yang langsung berhubungan dengan proses ekspor/impor barang, dan loading/discharging container, merupakan area tertutup yang tidak boleh dimasuki orang yang bukan pekerja organik. “Jika, di area ini orang bebas masuk, termasuk pekerja outsourcing,  validitas keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” katanya. Untuk memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional,  manajemen JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat mereka sebagai karyawan organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan sesuai standar hidup yang layak, untuk mencegah terjadinya gejolak atau pemogokan yang bisa mengancam kegiatan di pelabuhan.

Analisa dari kasus diatas yaitu sebagai berikut:
Pekerja keras yang hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa melihat bahwa dibalik usahanya atau perusahaannya itu terdapat puluhan, ratusan, bahkan ribuan pekerja kerjas (Outsourcing) yang tidak tentu hidupnya, mulai dari biaya dan jaminan kesehatan. Tidak ada bedanya antara pekerja laki-laki dan perempuan, perusahaan yang mempekerjakan para outsourcing mencari sesuatu yang murah, tapi di sisi lain harus mempunyai sebuah kualitas dalam bekerja, dan dengan upah yang minim tentu tidak adil untuk sebuah pekerjaan. Kasus yang telah dipaparkan di atas merupakan salah satu dari kasus outsourcing yang terjadi di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang bahkan lebih parah dari kasus tersebut.
Sekarang sedang maraknya tentang pegawai outsourcing yang ada di Indonesia ini, karena banyak masyarakat yang memilih untuk menjadi para pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing itu bekerja keras kemudian menuntut upah dan ingin diangkat menjadi karyawan tetap hanya sia-sia dan tidak pernah didengar oleh perusahaan, melainkan perusahaan itu memecat sekitar 300 pekerja outsourcing. Bekerja selama 20 tahun bukan waktu yang singkat, para pekerja outsourcing bekerja dengan upah yang sama. Bekerja sekuat tenaga untuk meningkatkan perusahaan menjadi perusahaan yang maju adalah hal yang sulit, dan itu hanya dibayar sebagian kecil dari keuntungan suatu perusahaan. Pekerja outsourcing yang bekerja di bagian inti dan terkait langsung dalam proses produksi pelabuhan atau terminal peti kemas tetap dipandang sebelah mata, dan didiskriminasi dengan karyawan tetap disana. “Jika kamu tidak puas dengan perjanjian atau upah yang kami berikan, silakan keluar dari sekarang, masih banyak para pekerja yang membutuhkan pekerjaan diluar sana”, kata-kata seperti itu yang sering digunakan oleh para jasa pekerja outsourcing, dengan kata lain, para pekerja outsourcing ini hanya bisa tutup mulut dan menerima dengan lapangan dada pekerjaan yang akan diterimanya nanti. Walau dengan upah yang minim, tanpa jaminan sosial maupun kesehatan, mereka akan menerimanya karna hanya itulah jalan untuk mendapat pekerjaan.
Jalan keluar untuk masalah outsourcing ini, dapat dikatakan cukup rumit, karena memang sejak awal para pekerja outsourcing sudah melakukan perjanjian dengan para penyedia jasa dan terdapat tanda tangan sebagai bukti bahwa mereka telah sepakat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, dan apabila nantinya ingin upahnya ditingkatkan, ada jaminan sosial dan kesehatan, bukti tanda tangan yang sah, para pekerja outsourcing cukup diperlihatkan bahwa tuntutan para pekerja outsourcing ini tidak sesuai dengan persyaratan sejak awal. Hanya perusahaan yang mempunyai hati nurani yang mendengar dan menghargai tuntutan para pekerja outsourcing ini. Tetapi ini sebuah bisnis, tidak ada perusahaan yang mau dirugikan hanya karena masalah para pekerja outsourcing yang setiap saat dapat diganti jika para pekerja outsourcing yang merasa tidak puas, misalnya masalah upah yang diberikan dan lain sebagainya.

Pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh seharusnya tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Namun pada kenyataannya, penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai pokok kegiatan perusahaan, dan tentunya sangat merugikan pekerja outsourcing yang telah lama bekerja di perusahaan. Bagaimana pun juga, para pekerja outsourcing tidak akan semudah itu untuk naik jabatan atau naik pangkat. Tetapi, perusahaan yang memberi kerja juga harus waspada ketika mengambil pekerja outsourcing untuk melakukan pekerjaan inti, karena bisa saja data-data penting yang dimiliki oleh perusahaan menjadi tidak aman, karena memang pada dasarnya pekerja outsourcing tidak untuk melakukan pekerjaan inti. Apabila penggunaan jasa outsourcing dilakukan untuk alasan yang tepat, maka jasa outsourcing akan benar-benar menjadi usaha bisnis untuk membantu perusahaan agar tumbuh dan berkembang.

Sumber:

Artikel outsourcing ini merupakan salah satu tugas Manajemen Sumber Daya Manusia FMIPA Universitas Jember Jurusan "KIMIA"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar