sushantskoltey.wordpress.com
|
Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan
tanggung jawab tenaga kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh. Outsourcing seringkali disebutkan sebagai sebuah strategi
kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya. Namun pada praktiknya,
outsourcing pada umumnya didorong oleh keinginan
sebuah perusahaan untuk menekan kerugian
serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi mungkin dan
seringkali melanggar etika bisnis. Sebuah praktik yang digunakan oleh perusahaan untuk mengurangi biaya yaitu dengan memindahkan bagian-bagian dari
pekerjaan kepada pemasok luar dan tidak menyelesaikannya secara internal. Semua
mekanisme kerja bertujuan untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan
mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan
pekerjaannya. Saat ini
hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar melalukan praktik outsourcing. Berikut ini terdapat beberapa alasan industri melakukan outsourcing
yaitu :
1. Efisiensi kerja, dimana
perusahaan dapat melimpahkan kerja-kerja operasionalnya kepada perusahaan
outsourcing
2.
Resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain, sehingga
pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil
mungkin
3.
Sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain
yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi
4.
Mengurangi biaya pengeluaran karena dana yang sebelumnya untuk investasi
dapat digunakan untuk biaya operasional
5.
Perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah
6.
Mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik
Dari sudut
pandang tenaga kerja, outsourcing merupakan ancaman baru bagi kontribusi
terhadap ketidakamanan pekerja dan mencerminkan proses umum globalisasi
ekonomi dan polarisasi. Perusahaan outsourcing
terutama menghindari biaya-biaya tertentu seperti biaya usaha, pajak yang
tinggi, biaya energi yang tinggi, peraturan pemerintah yang berlebihan,
produksi dan biaya tenaga kerja. Praktik outsourcing sering menimbulkan pemikiran yang
berlebihan. Setiap pekerjaan seolah-olah bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan
inti sebuah perusahaan sekalipun. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja
juga sangat kurang, karena pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT), sehingga habis kontrak akan habis juga hubungan kerja dengan
perusahaan dan tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberikan kompensasi
terhadap pekerja yang di-PHK. Adanya outsourcing, pengusaha tidak perlu disulitkan
dengan urusan administrasi dan perencanaan pekerjaan di luar bisnis inti,
pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, tunjangan hari raya (THR), dan
hak-hak pekerja lainnya. Hal ini diakui sebagai kelemahan dari konsep outsourcing yang diatur dalam
undang-undang ketenagakerjaan. Begitu banyaknya penyimpangan praktik
outsourcing dari konsep hukum positif dan teori hukum asalnya, sehingga ada
pemikiran untuk menghapus ketentuan tentang outsourcing tersebut dalam revisi undang-undang
ketenagakerjaan di masa mendatang.
Terdapat tiga pihak atau subjek yang terlibat langsung dalam bisnis jasa
outsourcing tersebut, yaitu perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima
pekerjaan, dan pekerja dari perusahaan-perusahaan tersebut. Pekerja outsourcing
sendiri hanya memiliki hubungan kerja dan digaji oleh perusahaan penerima
pekerjaan. Hubungan kerja yang demikian akan tetap tunduk pada ketentuan hukum
ketenagakerjaan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Contoh Kasus Pekerja Outsourcing
Di JICT,
Jangan Ada Pekerja “Outsourcing”
Rabu, 21 April 2010 | 20:43 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com-Manajemen Jakarta International
Container Terminal (JICT) diminta segera menyelesaikan nasib ribuan karyawan outsourcing
di terminalnya yang sampai sekarang masih terkatung-katung untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan. “Sistem
outsourcing harus segera dihapus karena akan berdampak pada implementasi
International Ships and Port Security (ISPS) Code di Pelabuhan Tanjung Priok.
Pekerja outsourcing harus diangkat sebagai karyawan organik,” kata Koordinator
International Transport Worker’s Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi
Rustandi, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (21/4/2010). Dikatakannya, ITF
sangat prihatin dengan sikap manajemen JICT yang tidak peduli dengan nasib
pekerja dengan mengabaikan nota pemeriksaan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans) yang merekomendasikan agar para pekerja outsourcing diangkat
menjadi karyawan tetap. Menurut Hanafi, untuk menyelesaikan tuntutan pekerja
tersebut, Kemenakertrans pada 31 Maret 2010 telah mengirim surat kepada
manajemen JICT. Intinya, JICT diminta melaksanakan UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan dan mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan organik.
“Namun hingga saat ini permintaan Kemenakertrans tersebut tidak
digubris,” katanya.
Kasus ini
mencuat setelah ribuan pekerja outsourcing di pelabuhan/terminal
petikemas itu menuntut diangkat menjadi karyawan tetap. Kontrak kerja outsourcing
ditandatangani oleh manajemen JICT dengan beberapa vendor, yakni PT Philia
Mandiri Sejahtera, Koperasi Pegawai Maritim, dan Koperasi Karyawan JICT. Mereka
antara lain bekerja sebagai operator rubber tired gantry crane, head truck,
quay crane, radio officer, dan maintenance. “Pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan inti yang terkait langsung dalam proses produksi dan berada
di lini satu pelabuhan/terminal peti kemas,” kata Hanafi yang juga Presiden
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI). Mereka rata-rata telah bekerja 20 tahun, namun
statusnya tidak berubah. Gajinya yang hanya Rp 1,3 juta per bulan, atau 15
persen dari gaji karyawan organik JICT. Kondisi itu dinilai sebagai
diskriminasi upah. Akibat tuntutan tersebut, sekitar 300 pekerja outsourcing
terkena PHK. Mereka kemudian melakukan aksi mogok pada 1 Februari 2010 yang
sempat melumpuhkan kegiatan ekspor/impor di Pelabuhan Tanjung Priok.
Unjuk rasa kemudian dilanjutkan di Kemenakertrans, Kementerian Perhubungan dan
BUMN. Namun hingga kini nasib pekerja masih terkatung-katung.
Hanafi
Rustandi yang juga Ketua ITF Asia Pasifik mengingatkan, mempekerjakan karyawan
dengan sistem outsourcing bertentangan dengan implementasi ISPS Code
yang harus dilaksanakan JICT. Menurut Hanafi, ketentuan ISPS Code menyebutkan,
area lini satu atau kegiatan yang langsung berhubungan dengan proses
ekspor/impor barang, dan loading/discharging container, merupakan area
tertutup yang tidak boleh dimasuki orang yang bukan pekerja organik. “Jika, di
area ini orang bebas masuk, termasuk pekerja outsourcing, validitas
keamanan pelabuhan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” katanya. Untuk
memenuhi implementasi ISPS Code sesuai aturan internasional, manajemen
JICT hendaknya menghapus sistem outsourcing dan mengangkat mereka
sebagai karyawan organik. Mereka juga wajib mendapat pengupahan sesuai standar
hidup yang layak, untuk mencegah terjadinya gejolak atau pemogokan yang bisa
mengancam kegiatan di pelabuhan.
Analisa
dari kasus diatas yaitu sebagai berikut:
Pekerja keras
yang hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa melihat bahwa dibalik usahanya atau perusahaannya itu
terdapat puluhan, ratusan, bahkan ribuan pekerja kerjas (Outsourcing) yang tidak
tentu hidupnya, mulai dari biaya dan jaminan kesehatan. Tidak ada bedanya antara
pekerja laki-laki dan perempuan, perusahaan yang mempekerjakan para outsourcing
mencari sesuatu yang murah, tapi di sisi lain harus mempunyai sebuah kualitas
dalam bekerja, dan dengan upah yang minim tentu tidak adil untuk sebuah pekerjaan.
Kasus yang telah dipaparkan di atas merupakan salah satu dari kasus outsourcing
yang terjadi di Indonesia, dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang bahkan
lebih parah dari kasus tersebut.
Sekarang sedang
maraknya tentang pegawai outsourcing yang ada di Indonesia ini, karena banyak masyarakat
yang memilih untuk menjadi para pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing itu bekerja
keras kemudian menuntut upah dan ingin diangkat menjadi karyawan tetap hanya
sia-sia dan tidak pernah didengar oleh perusahaan, melainkan perusahaan itu
memecat sekitar 300 pekerja outsourcing. Bekerja selama 20 tahun bukan waktu
yang singkat, para pekerja outsourcing bekerja dengan upah yang sama. Bekerja
sekuat tenaga untuk meningkatkan perusahaan menjadi perusahaan yang maju adalah
hal yang sulit, dan itu hanya dibayar sebagian kecil dari keuntungan suatu perusahaan.
Pekerja outsourcing yang bekerja di bagian inti dan terkait langsung dalam
proses produksi pelabuhan atau terminal peti kemas tetap dipandang sebelah
mata, dan didiskriminasi dengan karyawan tetap disana. “Jika kamu tidak puas
dengan perjanjian atau upah yang kami berikan, silakan keluar dari sekarang,
masih banyak para pekerja yang membutuhkan pekerjaan diluar sana”, kata-kata
seperti itu yang sering digunakan oleh para jasa pekerja outsourcing, dengan
kata lain, para pekerja outsourcing ini hanya bisa tutup mulut dan menerima
dengan lapangan dada pekerjaan yang akan diterimanya nanti. Walau dengan upah
yang minim, tanpa jaminan sosial maupun kesehatan, mereka akan menerimanya
karna hanya itulah jalan untuk mendapat pekerjaan.
Jalan keluar
untuk masalah outsourcing ini, dapat dikatakan cukup rumit, karena memang sejak
awal para pekerja outsourcing sudah melakukan perjanjian dengan para penyedia
jasa dan terdapat tanda tangan sebagai bukti bahwa mereka telah sepakat dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan, dan apabila nantinya ingin upahnya ditingkatkan,
ada jaminan sosial dan kesehatan, bukti tanda tangan yang sah, para pekerja outsourcing
cukup diperlihatkan bahwa tuntutan para pekerja outsourcing ini tidak sesuai
dengan persyaratan sejak awal. Hanya perusahaan yang mempunyai hati nurani yang
mendengar dan menghargai tuntutan para pekerja outsourcing ini. Tetapi ini
sebuah bisnis, tidak ada perusahaan yang mau dirugikan hanya karena masalah
para pekerja outsourcing yang setiap saat dapat diganti jika para pekerja
outsourcing yang merasa tidak puas, misalnya masalah upah yang diberikan dan
lain sebagainya.
Pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja
atau buruh seharusnya tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Namun pada kenyataannya, penggunaan outsourcing
semakin meluas ke berbagai pokok kegiatan
perusahaan, dan tentunya sangat merugikan pekerja outsourcing yang telah lama
bekerja di perusahaan. Bagaimana pun juga, para pekerja outsourcing tidak akan
semudah itu untuk naik jabatan atau naik pangkat. Tetapi,
perusahaan yang memberi kerja juga harus waspada ketika mengambil pekerja
outsourcing untuk melakukan pekerjaan inti, karena bisa saja data-data
penting yang dimiliki oleh perusahaan menjadi tidak aman, karena memang pada
dasarnya pekerja outsourcing tidak untuk melakukan pekerjaan inti. Apabila penggunaan jasa outsourcing
dilakukan untuk alasan yang tepat, maka jasa outsourcing akan benar-benar
menjadi usaha bisnis untuk membantu perusahaan agar tumbuh dan berkembang.
Sumber:
Artikel
outsourcing ini merupakan salah satu tugas Manajemen Sumber Daya Manusia FMIPA Universitas Jember Jurusan "KIMIA"